Senin, 11 Februari 2013

ASAL USUL KOTA BANDUNG


Tahun 1896, akhir abad ke-19, sekitar 116 tahun yang lalu, Bandung belum disebut kota tetapi hanya “kampung”. Penduduknya yang terdata 29.382 orang. Tak sampai 30.000 orang. Sekitar 1.250 orang berkebangsaan Eropa, mayoritas orang Belanda. Bandung hanyalah desa udik yang belepotan lumpur dan Jalan Braga yang kemudian melegenda di Bandung masih berupa jalan tanah becek bertahi sapi dan kuda. Lentera menjadi sumber penerang kala malam tetapi tidak semua jalan berlampu minyak itu. Jembatan Cikapundung di Jalan Asia-Afrika sekarang masih berbahan balok kayu yang dilapisi jerami dan tahi kuda.

Pada tahun 1896 itulah “Desa Bandung” diusulkan menjadi lokasi pertemuan Pengurus Besar Perkumpulan Pengusaha Perkebunan Gula (Bestuur van de Vereniging van Suikerplanters) yang berpusat di Surabaya. Karena masih kampung, tentu saja fasilitas Bandung belum memadai sebagai kota kongres. Meneer Jacob, seorang panitia kongres waktu itu mendapat masukan dari Meneer Schenk, seorang Tuan Perkebunan (onderneming) di Priangan. Untuk memeriahkan dan menghangatkan dingin pegunungan dan suasana pertemuan waktu itu, didatangkanlah Noniek-Noniek Cantik Indo-Belanda dari Perkebunan Pasirmalang. Singkat kata, kongres itu pun “sukses besar”. Bagi pengusaha perkebunan gula yang banyak datang dari Jawa Tengah dan Jawa Timur, kongres di Bandung sangat berkesan dan merasa “lekker kost zonder ongkos”. Usai kongres, para peserta lantas menebarkan istilah “De Bloem der Indische Bergsteden (Bunganya kota pegunungan di Hindia Belanda)”. Tetapi sebutan “bloem” oleh pengusaha perkebunan yang puas atas “layanan” selama kongres itu lebih mengarah pada servis yang diberikan oleh Noniek-Noniek Cantik Indo-Belanda itu. Hhmm...

Kalau sebutan Kembang dirujukkan pada bunga dalam makna harfiah, tentu tidak tepat pada masa itu, seratus tahun lalu, karena hanya ada satu taman di Bandung. Dalam buku Wajah Bandoeng Tempo Doeloe, Haryoto Kunto menulis bahwa kembang yang dimaksud ialah Kembang Dayang yang dalam bahasa Sunda sama dengan WTS (Wanita Tunasusila) atau pelacur, atau PSK (Pekerja Seks Komersial, sebuah istilah salah kaprah yang disebarkan oleh kalangan keblinger. Lantas, apakah istri layak disebut Pekerja Seks Domestik?). Dalam makna kias, sebutan WTS bagi Bandung muncul karena kota ini akan disoleki, dirias, dihias hanya ketika akan dikunjungi pejabat negara, tamu resmi dari dalam dan luar negeri. Analogi ini cukup mengena juga. 

Pada waktu kongres itu, yakni pada acara penutupannya, didatangkan juga “zangeres”, yaitu biduan/nita yang berasal dari Paris, Prancis. Sudah rahasia umum, para pengusaha perkebunan memang kaya raya sehingga hiburan apapun yang ada di Eropa akan mereka sewa dan didatangkan ke Jawa. Tapi sayang, ketika artis akan menyanyi, tiada piano di Bandung. Pada saat itu, tidak ada satu pun piano di “kampung” Bandung. Tapi untunglah, ada piano rongsokan yang bisa diutak-atik diperbaiki oleh Jan Fabricius lalu dibawa ke Societeit Concordia yang letaknya di sebelah Hotel Homann. Tapi malangnya lagi, tidak ada satu orang pun angggota panitia yang bisa main piano waktu itu. Untunglah ada Mama Homann, seorang ibu yang menjadi istri pemilik Hotel Savoy Homann di Bandung.

Sekian dekade kemudian, muncullah ragam sanjungan untuk Bandung sebagai Kota Kembang, baik dalam arti harfiah maupun maknawiah. Satu lagu yang enak didengar adalah lagu Kota Kembang yang dinyanyikan oleh Tetty Kadi, biduanita era 1970-an yang kini menjadi anggota DPR. Sebait liriknya di bawah ini.

Kota Kembang yang selalu, sangat kurindukan
Di sana aku dibesarkan, diasuh ayah bunda,
Tiada pernah kulupakan, hingga aku dewasa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar